EKONOMI ISLAM
Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Istilah “ekonomi” sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos), atau “peraturan, aturan, hukum,” dan secara garis besar diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.” Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja. { http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi]Tindakan Ekonomi
Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. misalnya: Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal.
Tindakan ekonomi terdiri atas dua aspek, yaitu :
- Tindakan ekonomi Rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
- Tindakan ekonomi Irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian.
[http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi]
Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal. [http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi]Prinsip Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam termuat dalam Al Qur’an, Sunnah Nabi SAW dan tafsir Al Qur’an, Sunnah Nabi SAW oleh para ulama yang hati dan akal pikirannya terbimbing oleh nafsu muthmainah yang bersih dari gangguan hawa nafsunya dan setan.Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam tertulis dalam uraian-uraian di bawah :
Manusia diperintahkan Alloh untuk mencari rezeki buikan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Alloh memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl AIloh, yang secara harfiah berarti “kelebihan yang bersumber dari Alloh”.Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Tafsir QS Al Jumu’ah / 62:9-10).
Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperolehnya dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Harta dinilai oleh Alloh Swt. sebagai “giyaman”, yaitu “sarana pokok kehidupan” :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Alloh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Tafsir QS Al-Nisa’ [4]: 5).
Tidak heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya sampai-sampai Al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik.
Bukan hanya itu, Al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, dan perjanjian lain yang berhubungan, jangan sampai oleh satu dan lain hal, tercecer hilang atau berkurang.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Alloh telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Alloh Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Alloh dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Alloh; Alloh mengajarmu; dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Tafsir QS Al-Bagarah [2]: 282).
Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya. Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Alloh berpesan pada ayat di atas, dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan.
Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran.
Seperti diketahui, Al-Quran memperkenalkau agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan, Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Tafsir QS Ali `Imran [3]: 14).
“Harta yang banyak” oleh Al-Quran disebut “khair” (QS Al-Baqarah [2]: 180), yang arti harfiahnya adalah “kebaikan”.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan “khair” (harta yang banyak), berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 180),
Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.
Karena daya tarik harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis, memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan harta, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Alloh dan khalifah di bumi.
Peranan Harta
Merujuk kepada MujamAl-Muhfaras (KamusAl-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi, kata mal (harta) terulang dalam Al-Quran sebanyak 25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk.Pertama, tidak dinisbahkan kepada “pemilik”, dalam anti dia berdiri sendiri. Ini menurutnya adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.
Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti “harta mereka”, “harta anak-anak yatim”, “harta kamu” dan lain-lain. Ini adalah harta yang menjadi obyek kegiatan. Dalam bentuk inilah yang terbanyak dalam Al Qur’an.
Menurut hasil perhitungan penulis, bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.
Dalam pandangan Al-Quran,harta merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi “bukan yang terpenting”. Manusia menduduki tempat di atas modal disusu1 sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi materialistik yang memandang harta sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.
Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik,agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa’ (4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan Warzuquhum minha. “Minha” artinya “dari modal”, sedang “fiha” berarti “di dalam modal”, yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.
Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5 % terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Alloh. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (Tafsir QS Al-Taubah [9]. 34.
Ancaman ini disebabkan karena harta seperti dikemukakan sebelum ini dijadikan Alloh untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murabahah, mudharabah atau musyarakah.
Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.
Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang disepakati.
Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.
Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah harta -seperti dikemukakan di atas- dijadikan Alloh untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?.
Kebutuhan Manusia
“Kebutuhan” biasa diartikan sebagai “hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan”.Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat,namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tertier kamaliyat).
Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga, Alloh mengingatkan mereka berdua:
Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya” (Tafsir QS Thaha [20]: 117-119).
Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam bahasa ayat di atas “tidak lapar dan tidak dahaga”. Sandang dilukiskan dengan “tidak telanjang”, sedangkan papan diisyaratkan oleh kalimat “tidak disengat panas matahari”.
Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam) saja.Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.
Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang maupun jasa.
Aktivitas Ekonomi
Aktivitas antar manusia -termasuk aktivitas ekonomi- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 188).
Kata “batil” diartikan sebagai “segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama”.
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran -sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Nilai-Nilai Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Alloh mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Alloh Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta alam,” (Tafsir QS Al An’am 6:162).
Prinsip ini menghasilkan “kesatuan-kesatuan” yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan lain-lain.
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Alloh dalam keadaan seimbang dan serasi,
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Tafsir QS Al-Mulk [67]: 3).
Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya.
Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Alloh SWT. memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya -baik dan buruk.
Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam memperkenalkan konsep fardhu ‘ain dan jardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.
Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Alloh, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Alloh memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Alloh yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). Tafsir QS Al-Nur [24]: 33).
Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Alloh. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang -misalnya- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Alloh memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya (“miliknya”) demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.
Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu.
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Alloh kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Alloh, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh sangat keras hukuman-Nya. (Tafsir QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad Saw. berikut:
“Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Alloh, dan Alloh juga berlepas diri darinya”.
Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya.
Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Tafsir QS Al-A’raf [7]: 31).
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:
“Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR Abu Daud).
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.
Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif. Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam dalam bidang ekonomi.
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah, karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan segi penafsiran ayat riba.
Riba
Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata -seperti yang diungkapkan Al-Quran- bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275), Alloh menjawab mereka dengan tegas bahwa “Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 275).
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah, walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39),
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alloh. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Alloh, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Tafsir QS Al-Rum [30]: 39).
Ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh’afan mudha’afah berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru’usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun.
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Alloh:
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]:280).
Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka,
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 279).
Inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek perbankan.
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah hutang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw. yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang. (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A’bi Rafi’),
yakni antara lain “melebihkan”. Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi).
Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.
Disarikan dari buku WAWASAN AL-QURAN bab Ekonomi
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Read more...